Membaca buku
cerita remaja yang satu ini membawa saya seakan sedang memasuki dunia
petualangan layaknya cerita di pulau Kirrin dalam novel karya Enid Blyton yang
dulu sering membuat saya takjub. Saya
lebih suka menyebut ”Ping! a Message from Borneo “ sebagai novel detektif remaja daripada novel cinta.
Walaupun novel ini juga memenuhi kriteria sebagai novel teenlit dengan cerita khas yang biasanya tak lepas dari
pengalaman ABG dalam menjalani kisah cinta yang ringan. Jadi membaca novel ini
laksana menikmati hidangan rujak cingur yang komplit. Protein ada, serat serta
vitamin juga tak kurang.
Hal istimewa
yang sangat berbeda dengan novel kebanyakan adalah, ada dua penulis dengan
jalan cerita serta gaya penulisannya sendiri dalam novel ini. Shabrina Ws
dengan penuturan khas fabelnya yang menguras air mata, serta Riawany Elyta dengan kelincahan mempermainkan susunan
kalimat dengan ciri khasnya sendiri mampu menyuguhkan satu paket cerita tak
biasa yang meninggalkan kesan mendalam serta pesan edukatif setelah membacanya.
Ada dua POV
orang pertama dalam buku ini, yaitu tokoh Ping, seekor orangutan yang mengalami
beberapa kali kisah kehilangan orangutan-orangutan terdekatnya, serta Molly,
seorang gadis pecinta petualangan. Kehilangan ibu kandung dengan cara
mengenaskan membuat Ping menangis pilu. Ia kembali menemukan kebahagiaannya
saat diangkat menemukan ibu dan saudara angkat yang mencintainya dengan segenap
kasih sayang hingga ia beranjak besar. Namun kisah sedih itu kembali datang serta
meninggalkan trauma lebih parah saat ibunya terbunuh dengan cara sadis serta
saudaranya tiba-tiba menghilang. Pada kisah petualangan Molly, aroma khas
teenlit terlihat saat Molly bertemu kembali dengan seorang teman lamanya saat
berpetualang bersama dua sahabatnya di tanah Borneo. Dengan alur yang berjalan
sendiri-sendiri, kita akan menemukan titik temu antara perjalanan Ping dengan petualangan
Molly hingga pertemuan yang sedikit banyak telah membantu Ping sembuh dari
trauma psikisnya. Namun pertemuan itu tak lama. Mereka berpisah dan melanjutkan
hidup masing-masing. Lalu bagaimana
dengan kelanjutan hubungan Molly dengan teman lamanya yang ternyata anak
pengsaha kelapa sawit? Apa hubungannya usaha kelapa sawit itu dengan pemburuan
orangutan besar-besaran yang terjadi di tanah hutan kalimantan? Mengapa Molly
bersikeras untuk tak mau pacaran? Konflik-konflik dari ringan hingga berat
mengalir dengan lancar dan mudah dicerna.
Membuat novel
seperti ini tentu tak bisa sekedar menghayal dan mengira-ngira. Perlu survei
serta pengumpulan data yang tak sederhana sebelum novel ini ditulis, begitu
penuturan salah satu penulisnya. Dengan penggabungan yang klop dua karya dari
dua penulis yang telah makan asam garam ini, maka pantaslah jika novel ini
memenangkan lomba yang diadakan penerbit besar Bentang Media. Dan sangat pas
jika seorang Dee bersedia menuliskan beberapa larik kalimat sebagai apresiasi
sekaligus endorsement di sampul novel ciamik ini. Hanya satu pertanyaan yang
tertinggal di benak saya setelah sempat membaca di beberapa bab secara
berulang, yaitu: sebenarnya Molly bertemu Ping berapa kali? Satu atau dua kali?
Tapi, selain pertanyaan itu, komentar saya bisa terhimpun dalam satu kalimat:
Novel ini tak terlupakan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar