“Mungkin butuh kursus merangkai kata, untuk bicara...., dan aku
resah harus menunggu lama, kata darimu.... Jam dinding pun tertawa namun ku
hanya diam, dan membisu. Ingin kumaki diriku sendiri yang tak berkutik di depanmu.....”
Mendengar lagu yang dibawakan olek Zamrud dengan manis itu, saya
terkesan dengan rangkaian kata ini, “kursus merangkai kata”. Kursus merangkai
kata seperti apakah yang dimaksud oleh
grup band ini? Apakah semacam les conversation, atau ekstrakurikuler
jurnalistik? Bisa jadi pelatihan merangkai kata seperti itu yang dimaksud, bisa
juga kursus dalam tanda petik. Maksudnya? Kursus merangkai kata yang dimaksud
Zamrud adalah berlatih menyusun kata demi kata dan mengucapkannya agar bisa
lancar berbicara di depan seseorang yang dikagumi. Jadi, agak berbeda dengan
kursus Bahasa Inggris atau latihan menulis. Kursus merangkai kata di sini lebih
cenderung pada tujuan agar menjadi percaya diri saat harus menyatakan perasaan
pada seseorang.
Sedangkan bagi penulis, jika diresapi, kursus merangkai kata
memiliki makna yang sangat dalam di setiap aspek kehidupan. Ya, kehidupan kita
sehari-hari tak pernah lepas dari kata. Entah itu kata yang berdiri sendiri,
ataupun yang telah berderetan dengan kata-kata lain membentuk kalimat. Maksud
di dalam hati seseorang tak akan ditangkap oleh orang lain jika kita
tidak menyampaikannya lewat kata-kata atau kalimat. Kata-kata adalah ciri utama
adanya kehidupan sosial manusia. Dengan
kata-kata, kita bisa meminta, memohon, memerintah, melarang, mengajak, memuji,
bertanya, dan lain-lain, sehingga terpenuhilah apa yang kita inginkan.
Tetapi, kata-kata yang keluar dari mulut kita, sadar atau tak
sadar, kadang (atau bahkan sering?) membuat lawan bicara menjadi terluka atau kecewa.
Padahal sebenarnya maksud kita tak sejauh itu - membuat lawan bicara
tersinggung. Apa yang ingin kita sampaikan diterima dengan hasil yang berbeda
oleh lawan bicara sehingga memicu lahirnya konflik baru yang mungkin lebih
rumit untuk diurai. Ketika kita mencoba memperbaiki dengan meminta maaf dan
memberikan klarifikasi, bisa jadi lawan bicara langsung maklum dan menganggap
tak ada masalah lagi, tetapi bisa juga lawan bicara tersebut sudah telanjur
tersinggung dan tak percaya dengan klarifikasi kita, lalu hubungan menjadi
kacau.
Hal seperti itu bisa dialami oleh siapa saja. Seperti antar teman,
antar tetangga, antara orang tua dan anak atau sebaliknya, antara suami dan
istri, antar relasi kerja, antara atasan dan bawahan, dan lain-lain. Contoh, seorang
suami ingin memastikan apakah istrinya memasak pagi itu. Ia mengatakan, “Ma, kamu
nggak masak?”. Tiba-tiba sang istri tersinggung karena merasa dituduh oleh
suaminya bahwa ia tidak mau masak. Di sini terjadi kesenjangan antara maksud suami
yang hanya ingin memastikan istrinya masak atau tidak, dan andai tidak masak ia
bermaksud mengajak sarapan di luar sekalian olahraga , dengan penerimaan istri
bahwa sang suami telah menuduh ia tidak mau masak, tanpa bertanya dulu.
Apanya yang salah?
Jika kita cermati, memang
kalimat suami yang kurang tepat. Seandainya ia mengatakan, “Ma, masak apa hari
ini?”, atau “Mama udah masak belum?”, maka hasilnya pasti akan lain karena
tidak ada kesan menuduh di dalamnya.
Itu baru contoh kesalahan dalam susunan kalimat. Intonasi suara
atau lagu kalimat yang berbeda untuk kalimat yang sama, bisa menimbulkan
penerimaan yang berbeda dari lawan bicara. Suara keras dan nada terlalu tinggi
bisa mengesankan bahwa kita sedang bicara dalam keadaan marah. Jika perlu suara
keras, mungkin bisa diusahakan agar nadanya berirama santai, tidak menghentak.
Demikian juga pemilihan waktu dan suasana yang kurang tepat dalam
menyampaikan sebuah kalimat, juga bisa menimbulkan hasil yang kurang baik. Akhirnya
maksud bukannya tersampaikan malah menimbulkan masalah baru. Misalnya, seorang
istri yang ingin meminta tambahan uang belanja pada suami karena kebutuhan
hidup melonjak, usahakan jangan menyampaikanya pada saat suami masih dalam
keadaan lelah sepulang kerja.
Banyak faktor yang menyebabkan kesenjangan antara maksud dan
penerimaan dua belah pihak yang sedang terlibat dalam suatu pembicaraan.
Mungkin kita bisa mengandalkan alasan bahwa kita memang terlahir dengan
karakter suara dan bahasa yang seperti itu, dan merasa tak ada yang perlu
dirubah. Akan tetapi alangkah baiknya jika kita mau sedikit berusaha demi
kepentingan bersama, yaitu berusaha berlatih menyusun kalimat yang tepat, dalam
suasana yang tepat, dan dengan lagu kalimat yang tepat pula. Kita tak bisa
selalu mengharapkan bahwa lawan bicaralah yang seharusnya berusaha mengerti
maksud dan isi hati kita, tanpa kita berusaha menyampaikannya dengan tepat. Di
sinilah perlunya latihan mengasah kemampuan menyusun kalimat yang baik, melatih
intonasi suara, dan melihat sikon saat bicara. Melatih sambil dipraktekkan,
dengan membuatnya makin baik dan lebih baik lagi hari demi hari.
Nha, itulah yang penulis maksud sebagai kursus merangkai kata.
Seorang istri lebih senang mendengar kalimat dengan nada lembut, dengan bahasa
yang tidak mengandung tuduhan, dan dengan mimik wajah yang memancarkan
keteduhan, bukan dengan tatap mata bak penyelidik atau mandor terhadap anak buah. Begitu juga, apa yang
diharapkan seorang suami dari istrinya.
Satu lagi, kita juga semestinya paham, dengan siapa kita sedang berbicara, apakah dengan atasan, atau kawan, atau orang yang baru dikenal. Apakah karakter lawan bicara termasuk orang yang mudah, atau sensitif, itu juga perlu menjadi perhatian kita. Seseorang yang biasa berkata kasar, jika berkumpul dengan
orang-orang yang terbiasa berkata kasar pula, mungkin tak akan terlalu menuai
masalah. Tetapi jika ia berkumpul dengan kelompok lain, bisa jadi perkataan
kasarnya menjadi sumber masalah utama. Bukankah kita tak selamanya berada di
satu tempat saja?
Di bawah ini beberapa dalil tentang perintah menggunakan kata atau
kalimat yang baik.
“...Dan kalimat yang baik adalah sedekah. Dan setiap langkah
yang ia langkahkan untuk shalat (berjamaah di masjid) adalah sedekah, dan
menyingkirkan duri dari jalan adalah sedekah.” (HR. Al-Bukhari).
“Seorang mukmin itu bukanlah seorang yang tha’an, pelaknat,
(juga bukan) yang berkata keji dan kotor.” (HR. Bukhari)
Al-Quran Surat Al
Hujurat Ayat 3:
“Sesungguhnya
orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah
orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka
ampunan dan pahala yang besar.”
Ternyata pemilihan kata serta cara penyampaian yang tepat sangat
berperan dalam menciptakan keharmonisan dalam sebuah hubungan. Baik
hubungan suami istri atau bentuk hubungan antar manusia lainnya. Marilah mulai
berusaha untuk selalu kursus merangkai kata, untuk kehidupan yang lebih indah
antara diri kita dengan orang-orang di sekitar kita. Tak hanya Zamud yang wajib
kursus merangkai kata, tapi kita semua sebagai makhluk sosial yang masih membutuhkan
hubungan baik dengan manusia lainnya,
serta membutuhkan ridho dari Allah Swt.
memang, diksi saat sedang bercakap-cakap kurang diperhatikan oleh kita ya Mbak.. akibatnya kerap ada perselisihan.
BalasHapussalam kenal juga mbak...maaf lama gak dibalas. dulu habis posting nggak dibuka lagi...
Hapusmba ella, salam kenal..
BalasHapus